Langsung ke konten utama

Cerpen Sup Daging


Paman suka sekali makan daging, tapi sayangnya, kami tidak sekaya itu untuk selalu menyediakan daging yang melimpah. Kami—aku, Martha, dan Ibu—adalah keluarga kecil yang hanya mengandalkan aneka pakaian rajutan yang dijual di pasar pagi sebagai penyokong hidup. Paman adalah adik Ibu yang belum menikah sampai sekarang, dan karena beberapa alasan yang tidak kuketahui, Paman tinggal bersama kami.



Awalnya aku tidak keberatan dengan kehadiran Paman, tapi semenjak ia tahu bahwa makan daging adalah suatu hal yang hanya bisa didambakan setiap malam di tempat tidur, Paman jadi mudah uring-uringan. Paman suka membentak Ibu, mengatakan bahwa ia tidak becus dalam memanfaatkan mendiang suaminya—ayahku.

Seperti hari ini, suatu pagi mendung yang sangat dingin di penghujung November, ketika Ibu mengumumkan bahwa ia ingin Paman ikut membantu berdagang di kota lain. Paman, yang sedang mengunyah serealnya dengan wajah cemberut, terlihat makin muram. Martha yang duduk di samping Paman menyadari hal itu dan ia perlahan menyusup ke sampingku yang duduk di seberangnya.

“Kau suruh aku membantumu sementara kau sendiri tidak pernah membuatku nyaman di sini?”
Aku tahu Ibu tersinggung mendengar cerita Paman, tapi beliau sudah terbiasa. Ibu hanya menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri dan Paman tiba-tiba berseru lagi, dengan suara yang lebih keras. “Sudah kubilang berapa kali ? Kau sebenarnya bisa dapatkan kembali peternakan dombamu itu. Peternakan!”

“Kalau begitu kenapa kau tidak mengusahakannya?” Ibu membalas. “Aku sudah tidak punya tenaga lagi untuk menjalankan peternakan seorang diri sementara kedua anakku masih kecil. Kalau kau memang menginginkannya, temui abang!”

“Kenapa aku yang harus mengusahakannya?” Paman mencemooh. “Jangan konyol, Elena! Aku hanya sekedar menumpang di sini. Aku tidak punya hak, apalagi kewajiban, untuk mengubah kondisi rumahmu. Aku di sini hanya untuk memberikan solusi, kau yang melakukannya!”

Seandainya aku beberapa tahun lebih tua, lebih tinggi, lebih berotot, dan punya jenggot, aku pasti sudah menerjang Paman dengan ribuan hantaman tanpa ampun. Bahkan sekarang pun kedua tanganku sudah terkepal dengan erat hingga buku-buku jariku memutih. Mataku melotot, memancarkan amarah yang mampu menarik perhatian Ibu.

Tapi wanita yang kusayangi itu hanya menghela napas dan setengah melempar serbet yang ia bawa.

“Aku mengerti,” Ibu berkata, membuatku syok dengan responnya. Tanpa mengurangi sejentik pun kadar amarah di ubun-ubunku, kutatap Ibu penuh dengan tanya. Namun tidak ada kata kata bijak keluar dari mulutnya.

Tapi beliau mengacuhkanku dan masih menatap Paman. Aku tahu beliau berusaha menenangkan diri karena dadanya naik turun dengan kentara sekali.

“Bagus kalau kau mengerti!” Paman bangkit dari kursinya dengan decitan nyaring. Ia tahu Ibu dan aku sama-sama menatapnya penuh kebencian, dan mata bijinya menyipit dengan kesal. Ia menodongkan telunjuk ke mata kami berdua. “Dan jangan sekali-sekali kalian menatap sinis seperti itu. Aku sudah memberikan solusi kepada kalian. Pun aku pula yang selalu menjaga rumah ini dari para rentenir, kalian mengerti ?”

Aku nyaris meludah di telunjuknya, teringat bahwa yang ia lakukan hanyalah berkelahi dengan para rentenir dan menambah masalah, kalau saja Ibu tidak menghampiri Paman duluan dan merangkul bahunya untuk menjauh dariku.

“Ya, aku tahu, aku tahu. Terima kasih banyak,” Ibu berkata dengan cepat, “bagaimana kalau sekarang kudengar solusimu lebih jauh sambil bersantai?”

Beliau sempat melirikku diantara kalimat dan aku tahu tak ada perkelahian antar keluarga yang boleh terjadi di sini, jadi aku hanya menghempaskan punggungku pada kursi dengan sangat kesal. Kutatap punggung Paman dan Ibu menjauh dari meja makan menuju ruang diseberang, dan aku nyaris tersedak ketika Paman tiba-tiba mengangkat genggaman tangannya di udara.

Ia mengacungkan jari tengah. Kepadaku.

“Abang, kita harus bagaimana?”

Martha berguling ke sisi lain tempat tidur untuk berada lebih dekat denganku. Aku, yang baru saja membalik halaman selanjutnya pada buku dongeng pengantar tidur, refleks berhenti membaca dan menatapnya bingung.

“Apanya yang bagaimana?”

“Daging,” Martha berkata lugas, tapi itu cukup untuk menghantam kesabaran yang sudah kubangun selama beberapa jam terakhir. “Paman akan marah-marah terus kalau kita tidak punya daging… dan aku benci Paman marah-marah.”

Keinginan untuk membaca buku dongeng di tanganku perlahan menguap dan kuhela napasku berat-berat. “Kau tidak perlu khawatir, Martha,” ucapku. “Akulah yang akan mengurusnya dengan Ibu. Aku yakin, pasti ada jalan keluar.”

“Tapi untuk beli sepatu baru buatku saja Ibu kewalahan,” ujar Martha polos. “Bagaimana bisa?”

Aku termenung sementara otakku mulai kelayapan kemana-mana. Martha menatapku dengan penuh penasaran, dan setelah beberapa menit tanpa jawaban, ia mencolek lututku. Lamunanku buyar dan kutatap kembali sosok gadis kecil yang baru saja menginjak umur sembilan tahun ini.
Aku menyunggingkan senyum kecil. “Selalu ada cara untuk mendapatkannya, Martha, aku yakin itu.”

Martha menarik selimutnya lebih tinggi sembari mengangguk. “Kalau aku bisa membantu, aku akan membantumu, Eddie.”

“Yang perlu kaulakukan hanyalah terus belajar, Martha-ku yang manis,” jawabku. “Dengan menjadi pintar, kau akan tahu bagaimana caranya berdagang dan menemukan hal baru untuk memperbaiki keadaan keluarga kita.”

Martha mengangguk sekali lagi. “Aku akan belajar lebih giat, Eddie!”

Kali ini senyum yang tersungging di bibirku benar-benar tulus. Kubungkukkan badan untuk mengecup dahi Martha dan mengelus rambut coklatnya yang lembut. “Kalau begitu, tidurlah. Selamat malam, Martha.”

“Selamat malam, Eddie.”

Aku segera bangkit dari kursi dan menaruh buku dongeng pengantar tidurnya di meja. Alih-alih menghampiri kasurku yang terletak di atasnya, aku melangkah keluar. Martha sempat menanyakan kemana aku pergi, dan kujawab seadanya bahwa aku ingin berbicara sebentar dengan Ibu.
Setelah menutup pintu kamar, aku bergegas menuruni tangga. Aku tahu Ibu dan Paman sedang berbincang-bincang di luar, untuk menghindari suasana yang makin kacau jika ada Martha dan aku di sana. Jadi aku mengendap-endap ke dapur untuk memastikan bahwa Ibu dan Paman sedang duduk-duduk di pekarangan belakang dapur, ketika aku mendengar suara Ibu menjerit, kemudia disusul suara debuman yang keras.

Darahku berdesir dan jantungku langsung berdetak cepat. Kenapa Ibu menjerit? Apa yang dilakukan bajingan itu? Aku cepat-cepat meraih pisau dapur dan menjeblak pintu terbuka. Ibu berlari ke arahku. Wajahnya merah padam dan berantakan. Air mata telah membanjiri pipinya dan ia sedang memegang tangan kanannya yang mengucurkan darah.

Aku terpaku saat menyadari Paman terjerembab di rumput. Wajahnya mencium tanah dengan sangat manis dan aku nyaris saja mencemoohnya, kalau saja ia tidak segera bangkit dan menerjang kami dengan lolongan menyakitkan.

Mulutnya penuh darah, sebuah jari mencuat diantara giginya yang kemerahan.

+ + +

Seminggu berlalu.

Aku sedang memanjakan diriku di depan perapian yang mengobarkan api dengan indahnya sambil berguling di atas karpet lusuh kesayangan mendiang Ayah. Martha duduk di sampingku, membaca buku yang ia pinjam dari perpustakaan desa beberapa saat lalu. Bau lezat merebak sempurna di ruangan, sewaktu kudengar Ibu meletakkan mangkuk dan piring di atas meja makan.

“Edwin, Martha, waktunya makan malam!”

“Makan malam, Eddie!” Martha dengan gembira menarik tanganku yang entah kenapa lebih suka bermalas-malasan di depan perapian. Tapi melihat Martha yang semangat seperti itu, aku tidak punya alasan untuk menolaknya. Aku cepat-cepat bangkit dan kami berlomba-lomba untuk mendapatkan piring pertama di meja makan.

Ibu tersenyum melihat tingkah kami. “Jangan berlarian di dalam rumah, sayang. Harus berapa kali kukatakan?”

“Aku tidak mau kehabisan daging gara-gara abang lagi!” Martha nyaris memekik saat aku berhasil mencapai kursi duluan.

Aku terkekeh geli dan Ibu menatapku dengan menggeleng. “Jangan lakukan itu, Edwin,” beliau mengingatkan seraya menuangkan sup daging ke mangkuk. “Kau sudah besar.”

“Aku tahu, aku tahu,” ujarku, tapi tetap saja tak bisa menahan senyum melihat Martha yang memberenggut di seberang. Tapi kerutan di wajahnya tak bertahan lama ketika Ibu menyodorkan mangkuk sup itu kepadanya terlebih dahulu. Aku menyeringai melihat Martha yang bersorak gembira.

“Daging lagi!” serunya. “Aku senang kita makan daging terus.”

Aku dan Ibu saling tatap, kemudian kami tersenyum.

“Semua ini berkat Paman,” kataku sambil mendengus. “Kalau ia tidak berubah pikiran… kita pasti tidak akan makan daging.”

“Edwin,” Ibu tiba-tiba berkata.

“Tidak masalah, Bu,” kataku riang seraya meraih mangkuk milikku dan mengisinya dengan potongan-potongan daging menggiurkan di sup buatan Ibu yang lezat. “Martha harus tahu bahwa Paman telah berubah.”

“Aku tahu Paman pasti akan menurut kepada Ibu! Paman, ‘kan, adik Ibu.”
Ibu tersenyum kepada gadis kecil berambut pendek itu. “Ya, sayang.”

“Tapi Paman lama sekali perginya, kapan ia akan pulang? Ia pasti akan senang dengan daging sebanyak ini.”

Kali ini Martha ganti menatapku, yang segera kubalas tatapan itu dengan lembut.

“Paman tidak akan pulang, sayang,” kataku. “Setelah memberikan daging sebanyak ini, Paman sepertinya tidak ingin merepotkan kita semua.”

“Apa? Lalu kemana Paman akan pergi?” Martha tersentak.

“Ke tempat yang jauh,” Ibu menjawab, dan aku tahu suaranya bergetar. Ia pasti sama bahagianya denganku, dengan Martha, dengan kami semua.

“Paman akan pergi ke tempat yang ada hanya untuknya, yang pantas untuknya, dimana ia tak perlu khawatir lagi soal makanan.”

“Wah, Paman pasti senang!”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Infomasi Umum SNMPTN

Informasi Umum SNMPTN SIMDIK.COM Seperti biasa selalu saja banyak siswa-siswa SMA yang mencari informasi mengenai SNMPTN di penghujung tahun ajaran. Bagi kau yang membutuhkan informasi tentang dunia pendidikan silahkan mengunjungi situs SIMDIK.COM yang berisi berbagai informasi pengumuman SNMPTN. Simdik Com adalah satu-satunya situs yang menyediakan informasi akurat dan terpercaya dan sudah dikunjungi oleh ribuan siswa-siswa sekolah baik SD, SMP dan SMA yang membutuhkan informasi maupun berbagi keluh kesah seputar dunia pendidikan. Jadi apabila anda mencari informasi umum seputar SMPTN, pastikan untuk mengunjungi situs tersebut. Bagi siswa disediakan beragam fitur menarik. Bagi orang tua, situs ini juga memberikan informasi yang akurat. Menurut kabar, SIMDIK.COM yang juga merupakan salah satu penyedia jasa SEO terbaik di Indonesia akan dijual. Tapi kami belum mendapat informasi lebih lanjut tentang hal tersebut. KLIK DISINI UNTUK MEMBUKA SITUS SIMDIK.COM SNMPTN merupaka

Tanda-tanda kita dikunjungi mahluk halus

Tanda-tanda dikunjungi mahluk halus Bagi sebagian masyarakat, penampakan sosok mahluk gaib kerap menjadi fenomena yang menghebohkan. Mahluk gaib memang ada, baik itu malaikat, jin, iblis dan setan, bahkan Tuhan yang kita percaya adalah mahluk gaib, yang harus kita percaya keberadaannya. Namun tidak sedikit dari kita, terkadang kita merasa ada yang mengikuti, melihat, hingga memantau apa yang kita kerjakan. Entah itu saat sendirian, atau sedang bersama keluarga. Dan tempat yang sepi dan gelap, sering diidentikkan dengan berkumpulnya para mahluk gaib. Lalu apa saja tanda-tanda dikunjungi mahluk halus, yang biasanya mempunyai sosok menyeramkan? Berikut penjelasannya: Ada panggilan Biasanya kita sering mendengar sayup-sayup seseorang memamnggil nama kita, tapi tidak ada siapapun di sana. Mungkin ini cara mereka mencoba untuk melakukan kontak dengan energi metafisika anda. Gonggongan anjing Hewan tertentu, biasanya bisa melihat mahluk gaib. Tidak seperti mata kita, mereka ma

Pria tergemuk 412Kg akhirnya mati muda

Pria tergemuk 412Kg akhirnya mati muda Kent -Pria tergemuk di Inggris, Carl Thompson, akhirnya meninggal  di rumahnya di kawasan Dover, Kent, Minggu pagi, 21 Juni 2015.  Kepolisian Kent telah mengkonfirmasi kematian ini. Ambulans, mobil polisi, dan pemadam kebakaran, tampak berada di depan rumahnya. Carl yang baru berusia 33 tahun  kemungkinan terkena serangan jantung. Bahkan sebelumnya dokter telah memperingatkan  kepadanya bahwa ia bisa meninggal jika tidak menurunkan berat badan. Lelaki yang tinggal di fat Dover itu telah menyadari apa yang terjadi  pada dirinya, Pada Mei lalu  Carl  pun telah berpesan kepada banyak orang  agar  menghindari   makanan instan agar tidak seperti dirinya. Rumah Obat Alami jual biolo pelangsing. Setiap hari Carl menghabiskan sekitar 10 ribu kalori. Ia  semakin membabi-buta  makan sejak ditinggalkan oleh ibunya pada 2012 sebagai pelampiasan atas kesedihannya. Carl memang amat dekat dengan ibunya.  Sejak itu pula ia hidup seorang diri di seb